materi hukum

Sunday, March 18, 2007

news

Memungut Royalti Lagu, Hak Siapa?
[13/12/06]
Penentuan siapa yang boleh memungut royalti harus diperjelas dalam revisi UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Ambiguitas mengenai lembaga mana yang berhak menjadi collecting society yang diakui secara de facto dan de jure di Indonesia terus menjadi perdebatan. Tidak hanya di kalangan umum bahkan kini bahkan telah sampai ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Awal Desember lalu, DPR mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum yang dihadiri antara lain Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) dan Bareskrim Mabes Polri. Dalam RDPU tersebut ASIRI dan YKCI saling mengklaim sebagai pihak yang paling berhak memungut royalti atas karya cipta lagu.

Menurut Konsultan HKI Belinda Rosalina, salah satu sebab terjadinya masalah dalam pemungutan royalti seperti yang terjadi saat ini adalah karena tumpang tindih antara lembaga yang memungut royalti suatu lagi. “Kondisi ini menimbulkan efek berantai sehingga yang paling diugikan pada akhirnya adalah user karena harus membayar royalti lebih dari satu kali untuk satu karya cipta lagu,” ujar partner dari Amroos & Partners Law Firm itu.


Selain itu, tandas Belinda, lembaga collecting society belum tegas diatur dalam UU No. 14 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. “Kondisi ini menimbulkan banyak penafsiran mengenai siapa yang berhak memungut royalti,” tegasnya.

Selama ini, yang banyak dikenal masyarakat adalah YKCI. Tetapi Yayasan ini belum sepenuhnya bisa menjalankan fungsi sebagai collecting society. Masih ada perdebatan mengenai keabsahan wewenang YKCI memungut royalti. Dalam bukunya “Perjanjian Lisensi Hak Cipta Musik Dalam Pembuatan Rekaman” (2005), Rooseno Harjowodigdo juga mengakui izin memungut royalti menjadi hambatan bagi YKCI dalam menjalankan tugas. Kalau izin itu secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang, dan dengan melibatkan aparat pemerintah, papar Rooseno, pengelolaan performing rights akan lebih gampang.



Namun, menurut Licensing Manager YKCI Heru C. Triotomo bahwa eksistensi YKCI telah diakui sebagai suatu lembaga collecting society sejak awal berdirinya dan hingga kini telah memiliki anggota lokal yang mencapai lebih dari 2300 orang. “Ini masih ditambah lagi dengan keanggotaan YKCI Confederation of Societies of Authors and Composers, sehingga keanggotaan YKCI dari luar mencapai dua juta orang,” ujar Heru.



Dalam sistem keanggotaan, dijelaskan Heru, YKCI menggunakan sistem personal sukarela dan bukan diwakilkan dalam bentuk perkumpulan. Sehingga hubungan hukum yang terjadi adalah bersifat keperdataan. Selain itu, menurutnya selama menjadi anggota dan telah memberikan kuasa kepada YKCI untuk menarik royalti, pencipta lagu tidak bisa berhubungan dengan lembaga sejenis untuk menarik royaltinya. “Ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pemungutan royalti ganda ke satu tempat oleh dua lembaga collecting society atas suatu ciptaan yang sama,” ujarnya.



YKCI bekerja atas dasar pemberian kuasa dalam bentuk perjanjian dari pencipta lagu yang menjadi anggota YKCI dimana pemberian kuasa tersebut dimaksudkan untuk menarik royalti dari pengguna. “Sehingga sudah pasti YKCI tidak akan memungut royalti dari pencipta lagu yang bukan merupakan anggota YKCI,” tukas Heru.



Berdasarkan catatan hukumonline, pengakuan Pemerintah terhadap YKCI sebagai collecting society secara tak langsung tergambar dari Perjanjian Kerjasama Antara Direktorat Hak Cipta, Paten dan Merek Ditjen HKI dengan YKCI pada 23 September 1998. Kala itu, YKCI diwakili oleh Rinto Harahap, sedangkan Ditjen HKI diwakili S. Kayatmo. YKCI merupakan badan administrasi kolektif untuk mengurus performing rights suatu karya cipta lagu yang didirikan berdasarkan Akta Notaris No. 42 tertanggal 12 Juni 1990.



Pengamat HKI Insan Budi Maulana berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada kewajiban dalam undang-undang yang mengharuskan para pencipta lagu bergabung ke YKCI. Namun, dalam pandangan Pakar HKI tersebut sebaiknya untuk mempermudah dalam memungut royalti disarankan kepada para pencipta lagu tidak melakukannya secara sendiri tetapi bergabung dengan lembaga collecting society seperti YKCI. “Ini dimaksudkan untuk mengefisienkan waktu dan tenaga dari pencipta lagu juga,” ujarnya.



Saat ditanyakan apakah perlu dibentuk suatu lembaga collecting society selain YKCI di Indonesia, baik Heru maupun Insan berpendapat bahwa sebaiknya perlu ada lembaga lain sejenis YKCI dalam memungut royalti. “Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan sistem pasar dan persaingan yang sehat,” ujar Heru lagi.



Insan memberikan contoh di Amerika setidaknya ada tiga lembaga yang melakukan tindakan collecting management, namun perlu diperhatikan efektif atau tidaknya lembaga collecting society selain YKCI. “Bisa terjadi seorang pencipta lagu terdaftar dilebih dari satu keanggotaan collection society, sehingga perlu dipertimbangkan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam memungut royalti,” tegas konsultan hukum senior tersebut.



Terkait dengan pungutan royalti, ASIRI sudah pernah melayangkan somasi kepada YKCI. Wakil Ketua Asosiasi itu, Arnel Effendi mengklaim pihaknya yang paling berwenang memungut royalti atas hak cipta lagu. Sebaliknya, YKCI mempertanyakan dalil hukum yang dipakai untuk melegitimasi klaim ASIRI.



Untuk menangani konflik kewenangan memungut royalti ini, Dirjen HKI Abdul Bari Azed memberikan pandangan yang moderat dengan cara melakukan pembenahan terhadap lembaga collecting society melalui perubahan regulasi yang mengatur secara lebih khusus keberadaan lembaga tersebut.



Abdul Bari juga mengatakan bahwa peran KCI tetap dapat dipertahankan sepanjang lembaga collecting society belum terbentuk. Sehingga sah-sah saja YKCI melakukan pungutan royalti. “Hanya saja kewenangan KCI tersebut dan besar penghitungan royaltinya harus tertuang jelas kepada kesepakatan perdata antara pencipta (yang diwakili oleh YKCI) dengan pengguna sesuai dengan pasal 45 ayat 4 UU Hak Cipta,” tambah Abdul Bari Azed.

Berita

YKCI dan Telkomsel Beradu Bukti
[29/1/07]
Tak hanya beradu bukti tertulis, YKCI dan Telkomsel juga bersaing menghadirkan saksi ahli yang dianggap paling mumpuni di bidang hak cipta musik.






Perseteruan Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) dengan Telkomsel di PN Jakarta Pusat sudah memasuki tahap pembuktian. Kedua kubu berkesempatan meyakinkan majelis hakim yang diketuai Sudrajat melalui bukti-bukti tertulis.



Sebagai penggugat, YKCI mengandalkan bukti tertulis berupa Nota Kesepakatan antara Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) dengan YKCI tentang sistem royalti untuk digital era di Indonesia yang dibuat pada 2005. “Itu merupakan bukti sempurna dimana ASIRI secara tegas mengakui, untuk ring back tone, YKCI memiliki hak mengumumkan dan berhak atas royalti sebesar 3% dari harga jual transaksi bersih. Hal itu tertuang dalam Pasal 4 Nota Kesepakatan tersebut,” ujar salah seorang kuasa hukum YKCI, Andri W. Kusuma.



Dengan Nota Kesepakatan itu, lanjut Andri, dengan sendirinya ASIRI telah mengakui dan membatasi dirinya atas hak-hak apa saja yang dimiliki ASIRI terhadap layanan nada sambung pribadi (ring back tone). Mengenai penetapan jumlah royalti tersebut, Andri yakin sepenuhnya telah sesuai dengan Pasal 45 ayat (4) UU Hak Cipta. Pasal tersebut menyatakan, jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada pemegang Hak Cipta oleh penerima lisensi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepekatan organisasi profesi.



Bagaimana dengan Telkomsel? Kuasa hukum Telkomsel tak mau kalah membeber bukti tertulis. Sekardus dokumen mereka bawa ke persidangan. “Pada intinya bukti-bukti ini menunjukkan bahwa kami telah membayar royalti, baik kepada label maupun kepada pencipta lagu,” ungkap salah seorang kuasa hukum Telkomsel, Sadly Hasibuan.



Selain itu, imbuh Sadly, pihaknya juga membawa surat pernyataan dari beberapa artis pencipta lagu. “Kami membawa surat pernyataan dari Piyu Padi dan Glenn Fredly. Keduanya menyatakan sudah menerima royalti dari Telkomsel. Di samping itu juga ada Surat Pernyataan dari Tito Sumarsono yang menyebutkan bahwa dia sudah mencabut kuasanya dari YKCI,” lanjut Sadly.



Perihal surat pernyataan dari Piyu Padi dan Glenn Fredly ini, kuasa hukum YKCI menyebutnya sebagai bukti yang dipaksakan. Menurut Andri, mestinya posisi Piu dan Glenn dibedakan, apakah sebagai pencipta lagu atau sebagai artis yang terikat kontrak dengan perusahaan rekaman tertentu.



Surat Keterangan yang dijadikan bukti itu, kata Andri, merupakan pernyataan Piyu Padi dan Glenn Fredly sebagai artis, bukan sebagai pencipta lagu. “Kan lagunya Piyu dan Glenn dinyanyikan juga oleh penyanyi lain dari perusahaan rekaman yang berbeda-beda,” tandasnya.



Meributkan Saksi Ahli

YKCI sejatinya sudah tak sabar hendak mengajukan saksi ahli. Pada sidang pekan kemarin, YKCI sudah menghadirkan Agus Sardjono, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tapi, majelis hakim menyatakan, keterangan saksi ahli tersebut baru bisa didengar pada sidang berikutnya (Senin, 29/01). Selain karena waktu yang tidak memungkinkan, majelis hakim ketika itu beralasan belum pernah menyilahkan YKCI membawa saksi.



Yang janggal, pada sidang Senin (29/01), justru pihak YKCI tak dapat menghadirkan Agus Sardjono. Sidang pun hanya beragenda pemeriksaan dan penyerahan bukti tertulis dari Telkomsel. “Pak Agus sedang ada acara hari ini. Minggu depan baru bisa hadir di persidangan,” tandas Andri.



Agus Sardjono yang akan dijadikan saksi ahli oleh YKCI mendapat sorotan tajam dari Telkomsel. Doktor berusia 51 tahun ini dinilai hanya memiliki kepakaran di bidang hukum dagang dan hak paten. “Mengenai Hak Cipta di bidang musik ya masih harus dipertanyakan lagi,” kritik Sadly.



Sadly menambahkan, pihaknya juga akan menghadirkan saksi. Tak hanya saksi ahli, tapi juga saksi fakta. Hanya, Sadly belum bersedia menyebut siapa kedua saksi tersebut. “Yang jelas, saksi ahli yang kami hadirkan adalah pakar di bidang hak cipta musik. Dia pernah menulis buku mengenai Perjanjian Lisensi Hak Cipta Musik,” imbuh sadly.



Merespon kritik dari Sadly, kuasa hukum YKCI tak terima saksi ahli yang bakal dihadirkannya dinilai kurang mumpuni di bidang hak cipta musik. “Kita secara resmi meminta bantuan FHUI untuk memperoleh saksi ahli ini. Dan, dekan FHUI, Prof Hikmahanto akhirnya menunjuk Pak Agus Sardjono. Itu artinya Pak Agus memang diakui kepakarannya di bidang hak cipta musik,” kata Andri.

(CRH) klik disini
hukum positif

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home